PENDAHULUAN
Estetika
termasuk salah satu cabang ilmu filsafat sejak zaman yunani kuno hingga
pertengahan abad ke18. Baumgarten
merupakan tokoh yang berhasil membuat estetika menjadi sebuah ilmu pengetahuan
yang dapat berdiri sendiri. Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam ilmu-ilmu
humaniora, estetika merupakan ilmu wajib yang harus ditempuh baik S1, S2 maupun
S3. Hal ini dikarenakan dalam sastra, dominasi ilmu didalamnya adalah tentang
keindahan, dimana keindahan ini masuk dalam ilmu estetika. Alasan sebuah karya
sastra disebut indah dan bermutu, ataupun sebuah karya sastra dikatakan tidak
indah dan tidak bermutu, dibahas secara mendalam pada ilmu estetika ini.
Dalam
ilmu estetika, filsafat menyediakan dasar-dasar filosofisnya, sastra melalui
medium bahasanya, lapangan menyediakan sumber serta tempat untuk
pengaplikasiannya. Dengan kata lain, estetika membahas tentang bahasa, sastra,
dan kebudayaan.
1.1
Etimologi, Definisi, dan Permasalahan
Umum Estetika
Estetika
merupakan cabang ilmu filsafat metafisik,
yang membahas tentang keindahan. Alexander Gottlieb Baumgarten (1750)
mulai membedakan antara pengetahuan inderawi dengan pengetahuan intelektual,
mempersempit presepsi artistik sekaligus membedakan antara pengalaman artistik
dengan pengalaman indera yang lain. Atas dasar inilah yang digunakan Baumgarten
kemudian mencetuskan Estetika sebagai ilmu mandiri dan memisahkannya dari ilmu
filsafat.
Secara
etimologis (Shipley, 1957:21) estetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu:
aistheta, yang juga diturunkan dari aisthe yang berarti “hal-hal yang dapat
ditanggapi dengan indra, tanggapan indra”. Dalam bahasa Indonesia, orang yang
ahli dalam ilmu keindahan/estetika disebut dengan estetikus, bersifat indah
disebut estetis, ilmu tentang keindahan disebut estetika. Dalam teori-teori
kontemporer, hakikat keindahan dapat dipahami dengan menyambung atau
menghubungkan hakikat subjek dan objek. Dalam menyambung maupun menghubungkan
subjek dan objek dalam ilmu keindahan membutuhkan kemahiran, keterampilan, yang
secara tidak langsung menibulkan konotasi yang bersifat teknis.
Dikaitkan dengan
kemampuan subjek untuk memahami suatu onjek pada umumnya, estetika berhubungan
dengan fungsi lidah, selera, dan perasaan, sebagai citarasa, presepsi indra.
Pada umumnya, masalah-masalah keindahan dikaitkan dengan seni murni, yaitu:
seni sastra, seni lukis, seni patung, seni pahat, seni artistik, dan seni music,
yang dipertentangkan dengan seni mekanis, seni bermanfaat, atau seni terapan,
seperti: pakaian, mobil, senjata, permadani, perhiasan, dan sebagainya.
Masalah-masalah selanjutnya yang dibahas dalam estetika yakni: hubungan
estetika di satu pihak, bahasa, sastra, dan kebudayaan di pihak lain.
1.2
Sumber Estetika
Timbul empat
kemungkinan mengenai sumber utama keindahan, yakni: Tuhan, karya seni itu
sendiri, seniman, dan penikmat. Mengingat segala hal tercipta dri kekuasaan,
kekuatan, kebesaran, serta kemulyaan Tuhan, maka dapat dikatakan bahwa sumber
utama keindahan adalah Tuhan. hal ini dikuatkan lagi dengan segala hal ciptaan
Tuhan itu indah. Mengingat usia waktu yang berjalan sudag tidak ratusan lagi,
maka manusia sendiri mulai mengenai dan memanfaatkan keindahan diperkirakan
sudah ribuan bahkan milyaran tahun. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Arnold
Hauser (1952, Vol. I:23-27) bahwa karya seni sudah ada sejak zaman
paleolitikum, sekitar 750000-15000 tahun yang lalu. Ada dua pendapat mengenai
timbulnya atau lahirnya sebuah seni, pertama stilisasi dan idealisasi
kehidupan, dan yang kedua reproduksi dan preservasi kehidupan alaiah benda-benda.
Pada hakikatnya,
seni diciptakan adalah untuk manusia. Seperti sebuah karya seni yang diciptakan
seniman, maka karya itu juga dinikmati oleh seniman lainnya juga. Segala bentuk
keindahan memang berasal dari Tuhan, namun kemudian keindahan tersebut dikongkretisasikan
oleh para seniman dalam suatu bentuk karya seni. Manusia sendiri terdiri dari
dua unsur, yakni jasmani dan rohani, raga dan jiwa, fisiologi dan psikologi,
intelektual dan emosional. Mengintat seorang seniman adalah juga seorang
manusia, maka letakkeindahan dalam diri seniman terletak pada unsure-unsur yang
ada pada manusia.
Keindahan tidak
semata-mata diadaptasi oleh karya seni. Keindahan bukanlah hak istimewa para
seniman. Setiap aspek kebudayaan, setiap aspek kehidupan manusia menampilkan
cirri-ciri keindahan. Sikap, tingkahlaku, dan perbuatan sehari-hari menampilkan
berbagai macam keindahan. Lambaian tangan, kerdip mata, dan anggukan kepala,
apabila dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keindahan, maka akan
menimbulkan kenikmatan pada diri sendiri dan dengan sendirinya pada orang lain.
Menghargai keindahan berarti menghargai kebesaran Tuhan. menghargai keindahan berarti memupuk
rasa rendah hati, bukan rendah diri.
(Ratna,
Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar