Senin, 29 Februari 2016

Resume BAB I Estetika Sastra dan Budaya, Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU.



PENDAHULUAN
Estetika termasuk salah satu cabang ilmu filsafat sejak zaman yunani kuno hingga pertengahan abad ke18.  Baumgarten merupakan tokoh yang berhasil membuat estetika menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang dapat berdiri sendiri. Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam ilmu-ilmu humaniora, estetika merupakan ilmu wajib yang harus ditempuh baik S1, S2 maupun S3. Hal ini dikarenakan dalam sastra, dominasi ilmu didalamnya adalah tentang keindahan, dimana keindahan ini masuk dalam ilmu estetika. Alasan sebuah karya sastra disebut indah dan bermutu, ataupun sebuah karya sastra dikatakan tidak indah dan tidak bermutu, dibahas secara mendalam pada ilmu estetika ini.
Dalam ilmu estetika, filsafat menyediakan dasar-dasar filosofisnya, sastra melalui medium bahasanya, lapangan menyediakan sumber serta tempat untuk pengaplikasiannya. Dengan kata lain, estetika membahas tentang bahasa, sastra, dan kebudayaan.
1.1              Etimologi, Definisi, dan Permasalahan Umum Estetika
Estetika merupakan cabang ilmu filsafat metafisik,  yang membahas tentang keindahan. Alexander Gottlieb Baumgarten (1750) mulai membedakan antara pengetahuan inderawi dengan pengetahuan intelektual, mempersempit presepsi artistik sekaligus membedakan antara pengalaman artistik dengan pengalaman indera yang lain. Atas dasar inilah yang digunakan Baumgarten kemudian mencetuskan Estetika sebagai ilmu mandiri dan memisahkannya dari ilmu filsafat.
Secara etimologis (Shipley, 1957:21) estetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu: aistheta, yang juga diturunkan dari aisthe yang berarti “hal-hal yang dapat ditanggapi dengan indra, tanggapan indra”. Dalam bahasa Indonesia, orang yang ahli dalam ilmu keindahan/estetika disebut dengan estetikus, bersifat indah disebut estetis, ilmu tentang keindahan disebut estetika. Dalam teori-teori kontemporer, hakikat keindahan dapat dipahami dengan menyambung atau menghubungkan hakikat subjek dan objek. Dalam menyambung maupun menghubungkan subjek dan objek dalam ilmu keindahan membutuhkan kemahiran, keterampilan, yang secara tidak langsung menibulkan konotasi yang bersifat teknis.
Dikaitkan dengan kemampuan subjek untuk memahami suatu onjek pada umumnya, estetika berhubungan dengan fungsi lidah, selera, dan perasaan, sebagai citarasa, presepsi indra. Pada umumnya, masalah-masalah keindahan dikaitkan dengan seni murni, yaitu: seni sastra, seni lukis, seni patung, seni pahat, seni artistik, dan seni music, yang dipertentangkan dengan seni mekanis, seni bermanfaat, atau seni terapan, seperti: pakaian, mobil, senjata, permadani, perhiasan, dan sebagainya. Masalah-masalah selanjutnya yang dibahas dalam estetika yakni: hubungan estetika di satu pihak, bahasa, sastra, dan kebudayaan di pihak lain.
1.2              Sumber Estetika
Timbul empat kemungkinan mengenai sumber utama keindahan, yakni: Tuhan, karya seni itu sendiri, seniman, dan penikmat. Mengingat segala hal tercipta dri kekuasaan, kekuatan, kebesaran, serta kemulyaan Tuhan, maka dapat dikatakan bahwa sumber utama keindahan adalah Tuhan. hal ini dikuatkan lagi dengan segala hal ciptaan Tuhan itu indah. Mengingat usia waktu yang berjalan sudag tidak ratusan lagi, maka manusia sendiri mulai mengenai dan memanfaatkan keindahan diperkirakan sudah ribuan bahkan milyaran tahun. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Arnold Hauser (1952, Vol. I:23-27) bahwa karya seni sudah ada sejak zaman paleolitikum, sekitar 750000-15000 tahun yang lalu. Ada dua pendapat mengenai timbulnya atau lahirnya sebuah seni, pertama stilisasi dan idealisasi kehidupan, dan yang kedua reproduksi dan preservasi kehidupan alaiah benda-benda.
Pada hakikatnya, seni diciptakan adalah untuk manusia. Seperti sebuah karya seni yang diciptakan seniman, maka karya itu juga dinikmati oleh seniman lainnya juga. Segala bentuk keindahan memang berasal dari Tuhan, namun kemudian keindahan tersebut dikongkretisasikan oleh para seniman dalam suatu bentuk karya seni. Manusia sendiri terdiri dari dua unsur, yakni jasmani dan rohani, raga dan jiwa, fisiologi dan psikologi, intelektual dan emosional. Mengintat seorang seniman adalah juga seorang manusia, maka letakkeindahan dalam diri seniman terletak pada unsure-unsur yang ada pada manusia.
Keindahan tidak semata-mata diadaptasi oleh karya seni. Keindahan bukanlah hak istimewa para seniman. Setiap aspek kebudayaan, setiap aspek kehidupan manusia menampilkan cirri-ciri keindahan. Sikap, tingkahlaku, dan perbuatan sehari-hari menampilkan berbagai macam keindahan. Lambaian tangan, kerdip mata, dan anggukan kepala, apabila dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keindahan, maka akan menimbulkan kenikmatan pada diri sendiri dan dengan sendirinya pada orang lain. Menghargai keindahan berarti menghargai kebesaran  Tuhan. menghargai keindahan berarti memupuk rasa rendah hati, bukan rendah diri.

(Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar